OLAHRAGA DAN PESTA PORA “SEMU” VOYEURISME


Ada perbedaan mendasar antara olahraga yang menyehatkan dengan tontonan olahraga. Tontonan olahraga sama sekali bukan olahraga namun merupakan ilusi yang menipu dan cenderung manipulatif. Pertanyaannya adalah, mengapa tontonan olahraga menipu??? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu diketahui bahwa “olahraga” yang dipertontonkan akan melahirkan pembicaraan-pembicaraan tentang olahraga tersebut yang pada tahap selanjutnya berkembang pada taraf yang biasa kita sebut diskusi. Ini jelas kontras dengan arti dan maksud asal olahraga yang bertujuan menyehatkan badan para olahragawan (aktor: pelaku olahraga). Jadi, berdasarkan maksud asalnya olahraga adalah entitas yang teramat indah, tentunya seindah seks dan renungan filosofis atau menyehatkan badan ibarat menyantap makanan bergizi. Selain itu, pada taraf tertentu olahraga ini menjelma seperti sebuah permainan yang dimainkan oleh orang lain agar dapat ditonton orang lainnya sebagai penonton atau supporter (sport performance) dan pastinya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu sebagai pengelola.

Pendiskusian atas olahraga yang telah ditonton ini tak lain merupakan salah satu wilayah utama “pers” olahraga yang pada gilirannya akan berkembang menjadi “diskusi pers olahraga”. Dari sini dapat dipahami bahwa, pada titik inilah tanpa disadari “diskusi pers olahraga” adalah sebuah diskursus yang membahas diskursus dengan tema menonton pihak lain berolahraga sebagai sebuah diskursus. Dengan demikian, keberadaan olahraga secara essensial saat ini ialah diskusi pers olahraga dan yang hadir disana hanyalah obrolan mengenai obrolan olahraga.

Obrolan inilah yang pada akhirnya membentuk setumpuk tata aturan para penggemar tontonan olahraga yang mewujud jadi aktifis pers olahraga (supporter). Misalnya, anda dapat dengan mudah membaca koran-koran terbaru yang menyajikan informasi olahraga, atau browsing internet untuk memburu informasi olahraga yang diminati dalam rangka pemenuhan dahaga hasrat pengembaraan informasi-informasi olahraga yang anda kehendaki. Hasil pengembaraan ini pula yang nantinya dapat mengantarkan anda dalam partisipasi aktif untuk memberikan pendapat versi anda sendiri (berdasarkan informasi yang telah anda peroleh melalui media informasi tertentu baik media cetak maupun media elektronik) dalam suatu diskusi olahraga atau hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan teman anda yang bertanya pada anda tentang kapan ditayangkannya pertandingan final olahraga dan bagaimana prakiraan berjalannya pertandingan final olahraga, dst. Kiranya setumpuk aturan-aturan ini dapat kita padankan dengan sebuah ritual yang hanya berkepentingan untuk melatih dan menetralisir ketajaman intellegensi seseorang, sedangkan fisik seseorang tidak lagi dimainkan. Hal ini tak ubahnya seperti karakter perdebatan politis yang rapuh tanpa makna.

Disisi lain tata aturan olahraga ini merupakan konstruksi yang berhasil disosialisasikan Federasi Sepakbola Dunia: Federation International de Football Association (FIFA) yang didirikan di Paris 08/06/1904. FIFA berkewajiban menetapkan peraturan sepakbola dunia, FIFA juga mempromosikan sepak bola, mengatur transfer pemain antar tim, memberikan gelar Pemain Terbaik Dunia FIFA, dan menerbitkan daftar Peringkat Dunia FIFA setiap bulannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut tontonan olahraga dapat dikatakan menipu dan cenderung manipulatif. Hal ini dapat kita saksikan pada momentum puncak dalam olahraga sepakbola seperti Piala Dunia atau Liga Champions Eropa, SEA Games, dan olahraga lainnya yang secara abnormal mampu mempolarisasi perhatian publik dan media massa. Ini merupakan substitusi paling murah untuk perdebatan politik. Perwujudan ini terbukti dalam antusiasme seseorang atau entitas apapun dalam mengkritisi rekord para atlet, pelatih, manager, klub-negara dalam suatu pertandingan (liga) olahraga ketimbang mengkritisi rekord kerja parlemen pemerintah dalam mengemban tanggung jawab pemerintahan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera, dan sentosa serta dalam pencerdasan generasi bangsa di bumi pertiwi Indonesia.

Pembicaraan dalam mengkritisi rekord para atlet/klub ini, diakui atau tidak memaksa dan mengarahkan seseorang untuk ambil posisi dan berpartisipasi aktif dalam mengungkapkan pendapat, menyarankan solusi, tanpa harus mengekspose diri sendiri hingga ditangkap polisi karena berbaiat dengan pihak-pihak asing dalam kasus-kasus tertentu. Selain itu yang terjadi selanjutnya dan merupakan dampak laten dari pembicaraan mengenai obrolan olahraga dan diskusi pers olahraga ini adalah membolehkan siapapun bermain searah dengan kehendak para penguasa (konspirasi yang tidak disadari). Akhirnya, terdapat berita-berita yang tak terkait dengan skandal korupsi para dewan dan golongan tua di parlemen, karena media informasi modern baik cetak maupun elektronik lebih jamak mengekspose pesta pora, kemeriahan, dan kericuhan piala dunia, liga champions, atau SEA Games yang menjadi salah satu perburuan informasi utama masyarakat.

Disisi lain, tontonan olahraga yang berkembang pada taraf diskusi pers olahraga sungguh berhasil dimanfaatkan pihak-pihak tertentu seperti FIFA. Karena  pada gilirannya FIFA berhasil meraup keuntungan dari segenap penjuru dunia yang mengonsumsi tontonan olahraga yang sukses tersiar baik melalui siaran televisi ataupun pemberitaan-pemberitaan media informasi modern lainnya. Hal ini terbukti dari nominal pendapatan FIFA yang makin meroket tiap tahunnya, Laporan Keuangan FIFA 2011 yang mengungkapkan bahwa 87 persen pendapatan yang berjumlah US$ 4,19 M (Rp. 37,6 T) berasal dari pendapatan Piala Dunia 2010 Afrika Selatan. Jumlah ini juga mencakup US$ 2,41 M (Rp. 21,6 T) dari hak penyiaran televisi.

Dengan demikian, nampak jelas bahwa media informasi modern berhasil mengubah dan menciptakan budaya baru dalam masyarakat modern. Karena media informasi modern dalam beragam bentuknya merupakan agen-agen yang turut membentuk, menciptakan kebutuhan masyarakat berdasarkan konstruksi “citra diri” atas tontonan olahraga sebagai salah satu budaya massa atau kebudayaan modern. Citra diri ini diproduksi melalui publikasi yang sedemikian rinci oleh teknologi media komunikasi dan informasi modern berupa iklan, koran,dan perangkat informasi lainnnya untuk kemudian dikonsumsi masyarakat sebagai kebutuhan, dan menunjukkan keberhasilan media informasi modern dalam menghegemoni kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang apa yang dibutuhkan.

Seperti yang telah kita ketahui, perkembangan teknologi mutakhir dan media informasi modern baik berupa media elektronik ataupun media cetak menyimpan selubung ideologis yang ditransformasi pada masyarakat secara halus (perlahan), sehingga masyarakat hanya mengafirmasi secara sukarela bahkan merindukan produk media informasi tersebut sebagai sebuah kebutuhan (misalnya: pilihan tindakan seseorang untuk lebih mengapresiasi tontonan infotainment atau sejenisnya yang bersifat menghibur ketimbang membaca dan diskusi).

Dengan demikian, apresiasi masyarakat dalam pengembaraan informasi tersebut tak lain tak bukan merupakan salah satu elemen yang turut mengokohkan cengkeraman kapitalisme global di bumi manusia, bumi nusantara.Padahal secara sederhana informasi dapat kita pilah antara informasi penting dan tidak penting, sehingga tidak terjadi generalisasi dalam pengonsumsian informasi dan benderanglah informasi apa yang layak dikonsumsi. Selanjutnya, bagaimanakah sikap kita sebagai generasi penerus bangsa yang bersatu dalam wadah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia untuk mereformasi dan memilah secara tepat apa yang mestinya diburu, dikonsumsi, dan dibutuhkan melalui media informasi modern karena selama ini kebutuhan kita sendiri banyak dikonstruksi oleh media informasi dan teknologi modern?????

Dengan kerendahan hati dan keterbatasan nalar penulis karena ketidakterbatasan absolut hanyalah milik sang pencipta sebagai penyebab pertama (causa prima) atas keseluruhan jagad semesta raya. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan sederhana ini dapat dijadikan salah satu bahan refleksi yang bermanfaat bagi kita semua, Amien.





Referensi:

Yasraf Amir Piliang, Postrealitas (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra).

Umberto Ecco, Tamasya dalam Hyperrealitas (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra).

Comments

Popular posts from this blog

Lirik Lagu Roro Jonggrang

Riwayat Mbah Pungkur Ngawen-Blora

Lirik Pepeling